Kamis, 03 Desember 2009

mama maafkanlah aku

Mama maafkan aku

“ki…. Tolongin mama sebentar dong”

Aku merengut sambil beringsut setengah malas. Beginilah nasib jadi anak satu-satunya di rumah. Sejak bang Edo kuliah di Jakarta, akulah yang jadi tempat mama minta tolong. Biasanya bang Edolah yang mengantar mama ke supermarket atau sekedar membawakan tas mama yang pulang dari kantor. Rajin ya? Memang begitulah abangku yang satu itu. Sedang aku? Biasanya aku dengan bandelnya menghindar. Tapi sekarang aku sudah tidak bisa lari lagi.

“ki, anterin mama ke rumah bu Dedi ya? Ada arisan”

Aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Rasanya malas sekali. Mmm, ini m. kiki mau belajar, nanti ujian. “yah ki. Kan Cuma sebentar aja. Paling Cuma 2 jam”. “soalnya bahannya banyak banget, nanti kiki dapat nilai jelek lagi”. “ya sudah. Mama pergi sendiri”. Aku menunduk sambil pergi. Rasanya tidak enak melihat sinar kecewa di mata mama. Memang, sejak papa meninggal mama makin sering minta ditemani ke mana-mana. Di hari kerja mama sibuk dengan urusan kantornya. Di akhir pecan, mama selalu minta di temani anak-anaknya. Kalau abang edo sih anak manis. Dia mau saja menuruti keinginan mama. Kalau aku dilarang pergi di akhir pecan, rasanya seperti hukuman. Maklumlah aktivitas. Kesempatan ada di rumah tidak terlalu banyak.

Aku masuk ke dalam kamar dan membuka buku. Sebetulnya aku tidak bohong. Memang aka nada ujain tapi masih dua minggu lagi. Aku berusaha berkonsentrasi, tapi entah kenapa pikiranku malah melayang- layang. Dari jauh terdengar derum mobil mama menjauh dari rumah. Ada perasaan bersalah yang menyalip di hatiku.

Akhir pekan berikutnya, bang edo pulang ke Bandung. Aku sih biasa-biasa saja. Tapi, mama senang sekali. Semalam sebelumnya, amam memasakkan semua makanan kesukaan bang edo. Ah, dasar anak kesayangan. Tapi aku tidak iri, biarkan saja. Setidaknya akhir pekan ini aku bebas berkeliaran . tugas jadi pendamping mama diambil alih oleh bang edo untuk minggu ini.

“ki,kenapa sih kamu nggak mau nganterin mama?”, Tanya bang edo sambil mencomot sebuah pisang goring dari atas meja, aku hanya melirik sekilas dari komik yang sedang aku baca. “ya biarin aja. Mama kan udah gede. Pergi sendiri kan juga bisa”. “masa kamu nggak kasihan ? mama tuh sedih banget loh sama kelakuan kamu”. “kata siapa?” “mama sendiri yang bilang”. “kan bisa diantar supir. Masa abang nggak ngerti sih? Urusanku kan banyak juga”. “huu….. mana, Cuma baca komik gitu!” aku Cuma bisa nyngir tersindir. Tak lama kemudian abang pergi bersama mama.

“ki mama minta tolong dong….” Aku menyumpalkan tangan ke telinga. Aduh mama belum sempat aku menjawab, mama sudah melongok ke dalam kama. Aku hanya bisa meringis. “ki tolong ambilkan berkas kerja mama di bu Joko dong”. “loh kok bisa ada di bu Joko ma?” “iya tadi habis pulang dari kantor, mama mampir dulu ke sana. Kayaknya berkas-berkas itu ketinggalan deh di sana. Soalnya di mobil udah nggak ada. Bisa nggak kamu ambilin?”

Aku melongo. Rasanya ingin teriak, kali ini aku benar-benar sibuk! Besok ada dua tugas yang harus dikumpulkan. Belum lagi sorenya ada ujian akhir. Mana sempat mampir-mampir ke rumah orang? Mana sudha malam begini….. “Aduh, mama kiki bener-bener sibuk, besok ada ujian dan tugas yang harus dikumpulin”. “ya udah kalau kamu nggak mau” balas mama dengan ketus. Aku hanya bisa menghembuskan nafas dan kembali mengerjakan tugasku. “kamu itu memang nggak pernah kasihan sama mama….”, bisik mama lirih dengan sedikit terisak. Suara mama sedikit sumabng. Sepertinya mama sedang terkan flu. Aku menatap langit-langit dengan lesu. Dengan lemas akhirnya aku memanggil mama. “iya deh ma, biar kiki yang pergi…”

Gelap sekali, apalagi banyak lampu jalanan yang sudah mati. Jalanan jadi tidak jelas terlihat. Capek rasanya harus berusaha melihat. Itulah sebabnya aku tidak suka menyetir malam-malam. Rumah bu Joko sebenarnya tidak jauh, tapi Karena sudah malam, palang-palang jalan di kompleks itu sudah diturunkan dan tidak ada penjaganya. Jadinya aku harus mengambil jalan memutar cukup jauh. Kalau tidak salah, satu-satunya palang yang tidak ditutup ketika malam adalah dari sini belok kiri. Ternyata ditutup juga aku membaringkan kepalaku di atas kemudi. Rasanya penat sekali, akhirnya kususuri perumahan itu jalan demi jalan semuanya terkunci. Setelah setengah jam berputar-putar barulah aku menemukan jalan masuknya.

Rasanya lega sekali ketika sampai di depan rumah bu Joko ku tekan belnya sekali, tidak ada jawaban. Dua,tiga,emapt kali tapi hasilnya sama. Hampir saja aku berbalik pulang namun kata-kata mama masih terngiang di kepalaku. Akhirnya kutekan lagi bel rumah mereka sambil mengucapkan salam keras-keras. Tak lama kemudian bu Joko membuka pintu dengan menggunakan daster aku pun menceritakan semuanya. Setelah itu bu Joko mempersilahkan aku masuk dan dia juga membantu aku mencarinya. Namun kami tidak menemukannya. Aku pun menelpon ke rumah. “ma berkasnya nggak ada. Mama simpan di map warna apa?” “udha ketemu ki. Ternyata sama bi isah diturunin dari mobilterus ditaruh di meja makan”. “tau gitu kenapa nggak telepon kiki! Kiki kan bawa Hp!” “maaf ki mama nggak tahu kamu bawa Hp, mama kira…” “ah,udahlah! Mama nyusahin kiki aja!” aku lantas membanting ganggang telepon dengna sedikit kejam, aku berbalik dna menemukan bu Joko menatapku dengan tatapan ngeri. Aku memaksakan sebuah senyum, minta maaf lalu pamit secepatnya.

Setengah ngebut aku memacu mobilku. Hujan rintik-rintik membuat raung pandangku semakin sempit. Nyaris jam dua belas malam. Hah, dua jam terbuang percuma. Kalau pakai untuk mengerjakan tugas, mungkin sekarang sudah selesai. Dasar mama….

Brakkkk!! Tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras. Bunyinya seperti kalen ayng robek. Sesaat aku merasa semuanya semakin gelap. Aku tidak bisa lagi membedakan mana atas dan bawah. Sekujur tubuhku seperti dihimpit dari berbagai arah. Sejenak kesadaranku seperti lenyap.

Penduduk sekitar mulai berdatangan. Mereka membantuku keluar dari mobil yang sepertinya ringsek parah. Mataku dibasahi sesuatu ketika kusentuh lengket. Darah….. tubuhku lebih gemetar karena takut daripada kerana sakit. Aku berusaha berdiri walau sempoyongan, aku menatap rongsokan mobilku dengan tidak percaya. Ternyata aku menabrak sebuah truk besar yangsedang diparkir di pinggir jalan.

Ketika tersadar aku sudah berada di rumah sakit. Rasa nyeri mengikuti dan menghajarku tanpa ampun. Air mata menetes dari mataku. Sakit sekali “udah ki jangan banyak bergerak. Dokter bilang kamu butuh banyak istirahat” aku hanya bisa menatap mata mama yang sembab tanpa bisa menjawab sepatah katapun. Hanya bisa mengeluarkan suara merintih yang menyedihkan, mama ikut menangis mendengarnya. Kecelakaan itu tidak mencederaiku parah namun lidahku nyaris putus karena tergigit olehku ketika tabrakan terjadi akibatnya lidahku harus dijahit.

Sayang tidak ada bius ayng bisa meredakan sakitnya. Setelah itu dokter tidak yakin aku bisa berbicara selancar sebelumnya. Seketika itu juga teringat setumpuk kata dan perilaku kasar yang selama ini kulontarkan pada mama. Hari-hari berikutnya aku sangat tersiksa bahkan untuk minum saja aku tersiksa. Selama aku dirawat, mamalah yang dengan telaten menungguiku. Dengan sabar ia membantuku untuk apapun yang aku perlukan. Kami hanya bisa berkomunikasi lewat kertas berkali-kali menuliskan “mama, maafkan kiki” mama juga sudah berkali-kali memaafkan aku namun tetap saja aku masih merasa bersalah. Walau aktif dalam kegiatan keagamaan namun nilai-nilai itu tidak mengalir dalam darahku. Aku tersedu-sedu setiap ingat bagaimana cara aku memperlakukan mama. Kukira penderitaanku berakhir jika sudah diijinkan pulang ke rumah, namun bulan-bulan selanjutnya aku harus berlatih mengucapkan kata-kata yang selama ini mengalir mudah dari bibirku. Kembali lagi mama membimbingku belajar bicara seperti yang ia lakukan ketika aku kecil. Himpitan penyesalan itu baru hilang ketika kata-kata itu berhasil kuucapkan walau patah-patah. “mama…… maafkan kiki….”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar